Selasa, 05 November 2013

Habibie-Prabowo Berdamai, Siapa Menyusul ?

BJ Habibie dan Prabowo Subianto
Jumat, 1 November 2013 | 14:51 WIB 
INILAH.COM, Jakarta 
Habibie-Prabowo Berdamai, Siapa Menyusul ? 

BJ Habibie dan Prabowo Subianto dikabarkan telah makan siang bersama. Tempatnya di kediaman Habibie di Jakarta. Inisiatif pertemuan muncul dari BJ Habibie, Presiden ke-3 RI.
 Makan siang tersebut diakhiri dengan foto bersama di sebuah bangku taman. Habibie tetap duduk di bangku, sementara Prabowo yang mengenakan jas dengan dasi merah, berdiri di sebelah kiri Habibie.

Foto berdua berbeda generasi itu semakin memiliki nilai berita, sebab di negara kita saat ini sudah sangat langka melihat orang berdamai atau mengakhiri permusuhan.

Tanpa harus mencari tahu apa penyebabnya begitu pula tanpa harus malu mengakui keadaannya, sudah menjadi rahasia umum, permusuhan antar elit di Indonesia saat ini, masih sangat besar. Maraknya permusuhan antarelit, telah menimbulkan persepsi bahwa semakin sulit mencari pemimpin yang berkarakter negarawan.

Ada permusuhan terselubung antara
Soekarnois dengan yang anti-Soekarno,
Soehartois dan pro-Soeharto.
Antara Orde Baru dan Orde Reformasi.
Antara militer dan non-militer.
Antara TNI dan Polri.
Antara Prabowo dan Wiranto.
Dan yang paling baru antara SBY dan loyalis Anas Urbaningrum.

Pertemuan diam-diam antara bekas Presiden dan bekas Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu dibocorkan oleh Sugiono, salah seorang staf kepercayaan Prabowo Subianto.
Kontan saja kabar pertemuan kedua tokoh itu tersebar luas setelah fotonya diposting oleh beberapa kader Partai Gerindra melalui media-media sosial.

Mengapa pertemuan BJ Habibie dan Prabowo Subianto menjadi sebuah kabar penting dan perlu mendapat perhatian?
Tidak lain karena pertemuan itu merupakan "good news" dan "good news" sebaiknya menjadi berita baik. Bukan sebaliknya yang "bad news" menjadi "good news" atau peristiwa buruk menjadi kabar baik.

Pertemuan tersebut patut disebut sebagai kabar baik karena sekalipun hanya dua orang yang bertemu tapi hal itu bisa menjadi contoh dan simbol sebuah persatuan dari 240 juta rakyat Indonesia.

Pertemuan rekonsiliasi itu semakin memiliki makna penting bila isu rekonsiliasi nasional disandingkan dengan keadaan politik bangsa saat ini, yang penuh dengan ceritera persengketaan, permusuhan dan saling menyalahkan.
 INDONESIA,
 tanpa kita sadari sudah mulai berubah menjadi sebuah negara yang 
"tiada hari tanpa permusuhan".

Selama kurang lebih 15 tahun, BJ Habibie dan Prabowo Subianto 'bermusuhan'. Bias dari permusuhan kedua tokoh nasional tersebut, merembet ke berbagai strata masyarakat. Pasalnya Habibie dan Prabowo masing-masing memiliki komunitas, konstituen yang tersebar di seluruh Indonesia.

Permusuhan mereka mulai mengarah ke permusuhan abadi.
Sebab lewat buku yang diterbitkan masing-masing, satu sama lain saling mengklaim kebenaran.
Isi kedua buku mereka terus diulas dan diulang-ulang oleh berbagai kalangan dengan berbagai kepentingan.
Isu paling sensitif dari permusuhan kedua tokoh yang diumbar dalam buku masing-masing adalah soal kudeta.  

BJ Habibie sebagai Presiden RI, menuding Prabowo berusaha menjatuhkannya melalui kudeta militer, hanya sekitar 3 hari setelah Habibie menggantikan Jenderal Soeharto pada 20 Mei 1998.
Hingga pekan lalu masalah tersebut masih diposting di halaman Facebook, dimana Prabowo membantah tentang tudingan tersebut.

Permusuhan mereka, jika tidak segera diakhiri, bisa berlanjut ke tahun politik 2014.
Oleh sebab itu pertemuan Habibie-Prabowo untuk sementara dapat dikatakan bisa menghilangkan rasa khawatir tentang kemungkinan berlanjutnya 'pemusuhan' dua tokoh tersebut.

Menjelang tahun politik 2014, dimana Prabowo berencana akan maju sebagai peserta kontes Pemilihan Presiden RI, diperhitungkan dapat menjadi sasaran kritik termasuk fitnah oleh musuh-musuhnya.
Antara lain dengan menggunakan buku BJ Habibie sebagai dokumen pendukung.
Kisah permusuhan tersebut didaur ulang terus menerus yang pada akhirnya tidak akan memberikan hasil positif bagi bangsa secara keseluruhan.
Padahal Indonesia, bangsa dan rakyatnya sangat memerlukan sebuah perdamaian.  

Jika ingin menjadi sebuah negara kuat yang disegani bangsa-bangsa lain, semua pihak wajib melakukan rekonsiliasi. Dan pihak yang wajib memulainya adalah para elit atau tokoh seperti Habibie dan Prabowo.

Banyak yang tidak sadar, keinginan untuk melihat Indonesia menjadi negara yang damai, hampir sama banyaknya dengan pihak yang ingin melihat Indonesia selalu dalam keadaan terpecah.
Hal ini terbukti dari adanya upaya-upaya pihak asing yang ingin menjadi jurudamai bagi Indonesia, pasca-kerusuhan sosial Mei 1998.
Tidak lama setelah reformasi 1998 itu meletus sejumlah tokoh dunia yang berjasa dalam mendamaikan seluruh komponen sebuah bangsa yang bertikai, menawarkan minat mereka kepada Indonesia.
Negara yang menjadikan rujukan adalah Afrika Selatan.
Negara di benua hitam ini dinilai sebagai contoh faktual yang paling tepat.

Sebab Afrika Selatan baru merdeka dari kelompok minoritas bangsa kulit putih pada 1994. Yang menarik adalah sekalipun bangsa kulit hitam mengalami penderitaan yang luar biasa akibat penindasan bangsa kulit putih, selama berabad-abad, bangsa kulit hitam dapat menguburkan trauma dengan cepat.

Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama sekaligus tokoh penentang rezim apartheid, merupakan simbol rekonsiliasi.
Ia mengajak anak buahnya untuk tidak mendendam bangsa kulit putih. Sebagai bukti, Mandela dalam pemerintahan perdananya, langsung menggandeng FW De Klerk, Presiden kulit putih terakhir di Afrika Selatan, untuk menjadi Wakil Presidennya.

Padahal kalau bicara soal dendam dan kualitasnya, sejatinya bangsa kulit hitam Afrika Selatan tidak akan pernah bisa melupakan apalagi memaafkan bangsa kulit putih dari negeri itu.

Salah satu petikan ceritera penderitaan bangsa kulit hitam antara lain cara bangsa kulit putih memberi hukuman. Tidak sedikit orang kulit hitam yang berakhir hidup mereka di mulut buaya atau aligator, karena sengaja diekskusi oleh orang kulit putih secara keji seperti itu.

"Kami cukup realistis. Tidak mungkin kami terus memendam kepada orang kulit putih. Kami tidak mungkin membalas. Toh sekalipun kesempatan membalas itu ada, nyawa dari saudara kami yang tubuhnya dimangsa buaya tidak akan hidup kembali," ujar seorang diplomat kulit hitam Afrika Selatan yang bertugas di Jakarta lebih dari 10 tahun lalu.

Rekonsiliasi bangsa Afrika Selatan menjadi contoh positif sebab kisah-kisah tragis seperti itu langsung dikubur oleh bangsa kulit hitam. Bangsa Indonesia patut bersyukur tidak sampai mengalami situasi seperti Afrika Selatan.

Kini, siapa menyusul Habibie-Prabowo yang sudah berdamai? [mdr]

Jika INDONESIA ingin menjadi sebuah negara kuat yang disegani bangsa-bangsa lain, semua pihak wajib melakukan rekonsiliasi. Dan pihak yang wajib memulainya adalah para elit atau tokoh seperti Habibie dan Prabowo.