Selasa, 03 September 2013

Indonesia, Mesir, Prabowo dan Kudeta

Indonesia, Mesir, Prabowo dan
Kudeta
Created on Tuesday, 27
August 2013 21:15
Published Date
Jakarta, GATRAnews - Sebagai
pemerhati sejarah perjalanan
bangsa Indonesia, saya
perhatikan dalam beberapa
bulan terakhir ini sudah ada
ratusan, bahkan mungkin
ribuan pesan yang masuk di
Facebook dan Twitter Ketua
Dewan Pembina Partai Gerindra
Prabowo Subianto, yang
mendesaknya agar bersedia
mengambil alih pemerintahan
tanpa menunggu Pemilu 2014.
Dalam kata lain, cukup banyak
Facebookers dan pengguna
Twitter yang membujuk
Prabowo agar turun ke jalan,
memimpin sebuah kudeta untuk
menjatuhkan pemerintah.
Menurut saya ini adalah sebuah
fenomena menarik.
Senin, 29 Juli 2013 kemarin di
sela-sela acara buka puasa
bersama dengan tokoh-tokoh
ICMI di desa Bojong Koneng,
Kabupaten Bogor saya bertemu
dengan Prabowo, dan
menanyakan tanggapan beliau
atas banyaknya rakyat yang
ingin Prabowo memimpin
sebuah kudeta.
Dengan lugas Prabowo
menegaskan bahwa “kudeta
hanya dapat dilaksanakan oleh
pasukan bersenjata”.
Memang benar, mungkin
banyak rakyat kita yang lupa
bahwa kondisi Prabowo saat ini
sangat berbeda dengan tahun
1998. Saat itu, sebagai
Pangkostrad TNI AD, sebagai
komandan yang memiliki kuasa
atau setidaknya pengaruh kuat
terhadap sedikitnya 100
batalion tempur, Prabowo
sangat memiliki kapasitas
untuk memimpin kudeta.
Pada waktu itu, seperti saat ini,
Prabowo juga menerima
banyak desakan untuk
memimpin kudeta, bahkan dari
orang-orang terdekatnya.
Namun perjalanan sejarah
mencatat bahwa Prabowo, yang
banyak mendapatkan tudingan
ini dan itu, ternyata memilih
untuk tidak melakukan kudeta.
Padahal, pada tahun yang sama
juga terjadi kudeta di Pakistan
dan di Thailand.
Saat saya tanyakan kenapa,
Prabowo menjawab bahwa ia
percaya kudeta melanggar
konstitusi. Kudeta melanggar
UUD 1945. Prabowo percaya
jika mengambil melangkahi
konstitusi, ia dapat memicu
kegaduhan politik yang akan
merugikan rakyat Indonesia -
seperti halnya yang terjadi di
Mesir saat ini.
Kalau kita pelajari dan simak di
televisi proses pergolakan yang
sekarang terjadi di Timur
Tengah pada umumnya, dan
Mesir pada khususnya, dan kita
bandingkan dengan apa yang
terjadi di negara kita pada
1998, kita pantas untuk
bersyukur.
Kita pantas dan patut
bersyukur bahwa bangsa
Indonesia bisa melakukan
transisi ke demokrasi dengan
relatif sedikit pengorbanan.
Bandingkan dengan di negara-
negara di Timur Tengah,
dimana angkatan udara negara
tersebut meroket ibukotanya
sendiri. Tentara menembak
rakyatnya sendiri. Panzer serta
tank meroket rumah-rumah
rakyatnya sendiri.
Saya menilai bahwa pada tahun
1998, tokoh-tokoh di dalam
TNI terutama mereka yang satu
generasi dengan Prabowo,
generasi paska-45, mendorong
dan terbuka serta mendukung
sepenuhnya proses reformasi.
Prabowo melakukan itu karena
ia sadar bahwa TNI adalah
tentara rakyat. Seluruh
pelajaran dan indoktrinasi yang
diajarkan oleh TNI adalah
selalu membela rakyat,
membela rakyat, membela
rakyat. Mengutamakan
kepentingan rakyat daripada
kepentingan yang lain serta
memegang teguh konstitusi.
Adalah fakta bahwa sejarah
mencatat bagaimana TNI
menjadi bagian dari hanya
sedikit tentara dunia yang
dengan sadar dan sukarela
mengundurkan diri dari politik
dan menyerahkan kendali
pemerintahan pada tokoh-
tokoh sipil. Sebuah fenomena
yang juga terjadi di Taiwan,
terjadi di Korea, terjadi di Turki,
dan akhirnya juga oleh
Myanmar belakangan ini.
Apa yang terjadi saat ini,
kerisauan serta desakan rakyat
Indonesia kepada Prabowo
untuk memimpin kudeta bisa
dikatakan sama dengan apa
yang terjadi di Mesir namun
dalam tempo yang berbeda.
Jika Mesir baru menjadi
demokrasi selama satu tahun,
bangsa Indonesia setelah
memilih dan melaksanakan
demokrasi selama 15 tahun.
Rakyat Mesir dan rakyat
Indonesia sama-sama
menyadari benar bahwa
reformasi dan demokrasi tidak
menghasilkan kekuatan dan
kedaulatan ekonomi.
Coba sekarang kita lihat,
komoditas apa yang telah
mampu kita buat untuk
keperluan bangsa sendiri.
Sampai dengan saat ini kita
belum juga memiliki mobil,
motor, dan televisi buatan
Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini,
negara yang terdiri dari tiga
perempat laut harus mengimpor
garam. Kita juga telah menjadi
bangsa agraris yang harus
mengimpor beras, gula,
bawang, cabai, singkong,
daging, susu dan berbagai
kebutuhan perut lainnya.
Bahkan sebagian besar sandal
dan celana dalam yang
digunakan oleh rakyat kita saja
buatan rakyat negara lain.
Keinginan rakyat agar Prabowo
segera menjadi presiden adalah
bukti nyata bahwa banyak
warga negara Indonesia yang
memahami sebuah kondisi
yang Prabowo namakan
sebagai “paradoks Indonesia”.
Memang sudah 10 tahun
terakhir ini, Prabowo berkeliling
dan menyatakan bahwa mazhab
sistem ekonomi neoliberal
kebablasan, yang dianut oleh
pemerintah yang sekarang
sedang berkuasa, gagal
menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat banyak. Adalah
fakta bahwa sistem ekonomi
neoliberal membiarkan semakin
lebarnya jurang kesenjangan
antara si kaya dan si miskin.
Selain itu, sekarang seolah-
olah kita menjadi tamu di
negara kita sendiri. Seolah-
olah kita harus hormat, tunduk
dan minta ijin kepada mereka-
mereka yang justru mencuri
dari kekayaan rakyat.
Inilah fenomena yang terjadi,
fenomena yang mendasari
angan-angan rakyat turun ke
jalan untuk memaksakan
perubahan kepemimpinan serta
perubahan sistim ekonomi
tanpa menunggu proses-
proses demokrasi dan
pemilihan umum.
Melalui tulisan ini saya ingin
mengingatkan dan mengajak
saudara, sesama warga negara
Indonesia, bahwa walaupun kita
sama-sama risau, kita harus
melihat dan harus belajar dari
pengalaman Mesir. Kondisi
bangsa kita saat ini memang
kronis, namun mari kita sama-
sama bersabar.
Jika kita tidak puas dan
menghendaki perubahan,
menghendaki kepemimpinan
yang kuat dan tegas, mari kita
salurkan suara kita melalui
pemilu yang tinggal delapan
bulan lagi.

[Kombes Pol. (Purn.) H.
Thamrin Dahlan, SKM, M.Si ]
Ketua Umum Iluni Kajian Timur
Tengah dan Islam Universitas
Indonesia, Dosen Universitas
Gunadarma, dan citizen
journalist di Kompasiana.com